Pesta Rakyat Namanya
Cerita dari rumah kakek yang ada di kaki gunung sumbing.
Tempat saya dilahirkan itu sampai sekarang belum banyak yang berubah. Kecuali jalanan yang sudah beraspal mulus, membelah permukiman menjadi beberap blok. Sungai-sungai yang mengelilingi desa masih mengalirkan jernihnya air, maklum daerah hulu yang menjadikan polusi belum banyak terjadi, demikian juga erosi masih terlampau sedikit untuk sekedar mengeruhkan air. Hanya saat ini debitnya sudah agak berkurang, mungkin karena gunung sudah tak berpohon, menjadikan air lebih senang mengalir bebas.
Dinginnya masih sama, angin yang berlimpah di saat panas terik juga tetap membuat sejuk. Kabut dipagi hari juga lebih tebal, demikian halnya disore hari awan jenuh mengirimkan tetesan air. Selimut dan jaket bukan lagi tuntutan mode, namun sudah menjadi kebutuhan untuk menyamankan sedikit suasana.
Kebersamaan dengan alam dan rasa syukur atas semua karunia selalu mewarnai setiap gerak langkah. Seperti halnya siang dan malam itu, suasana pasca lebaran masih belum hilang. Kegembiraan selepas panen tembakau juga masih tergambar jelas. Dua alasan yang cukup untuk menyelenggarakan sebuah partunjukan seni. Tapi jangan salah, bukan orgen tunggal, bukan wayangan, bukan ketoprak namun kuda kepang dan lengger yang diadakan.
Kuda kepang adalah kesenian yang dimiliki desa kakek saya sejak turun temurun, diwariskan dari generasi ke generasi. Lengger, jarang saya lihat jenis kesenian yang ini, dari saya yang pertama pernah saya ingat diadakan di desa sampai dengan sekarang ini. Pasca panen tembakau, kaki gunung sumbing marak dengan beragam kesenian, utamanya adalah kuda lumping yang hampir semua desa memiliki. Akhirnya ajang ini mirip sebuah pesta antar desa, bukan untuk saling berlomba namun lebih merupakan sebuah sumbangan. Yah, desa yang memiliki kesenian kuda lumping akan mengirimkan wakilnya ke desa lain yang mengadakan perayaan dan demikian sebaliknya.
Siang sampai dengan malam itu, warga desa benar-benar berpesta. Sebuah tenda didirikan, disangga kuat tiang-tiang dari besi. Beberapa batang bambu, mengelilingi membentuk sebuah ruang dengan satu pintu, tujuannya untuk memberikan keleluasaan kepada penari dan memberikan batas kepada penonton. Hal ini perlu, mengingat banyaknya penonton yang datang bukan hanya dari desa itu sendiri namun juga dari desa-desa tetangga.
Para penari terdiri dari bermacam ragam, ada kelompok anak-anak, dewasa dan juga penari wanita. Semua menunjukkan kebolehannya menari, meski yang kanak-kanak belum bisa memberikan suguhan yang memuaskan karena kurang kompakan gerak dan berbagai kesalah pahaman lain, namun hal ini malah menimbulkan kelucuan-kelucuan yang memikat hati. Sementara penari dewasa, dengan penuh semangat menggerakkan badan, bermandikan peluh. Menari dalam irama yang hampir serempak, dalam kesatuan gerak dan nada. Seperangkat sound system yang mengeraskan bunyi gendang dan gamelan sangat sederhana, membuat suara yang keluar justru aneh, sumbang dan seperti dari tempat yang jauh. Penari wanita tak kalah semangat, meski kadang malu-malu melihat betapa diantara penonton menatap nanar, menyiratkan kekaguman dan gairah. Semua lebur saling menutup, melengkapi, menyeimbangkan tanpa kehilangan keindahan.
Terkadang saya suka bertanya, berapa rupiah yang masing-masing penari dapatkan. Satu grup penari terdari dari 10 sampai 15 orang, belum dihitung dengan para penabuh perkakas musik, dan agaknya perlu pula dihitung penggembira yang menyertai rombongan. Sekitar 500ribu ada yang bilang, hanya ongkos transport suara lain menanggapi, mereka tak dapat apa-apa koq untuk ajang seperti ini, hanya konsumsi berupa makanan dan minuman ala kadarnya saja sudah cukup, sebuah suara lain menimpali.
Akhirnya saya sampai pada sebuah kesadaran awal, mereka ini bukanlah mengharapkan materi untuk apa yang mereka lakukan. Menari bukanlah pekerjaan bagi mereka, hanya sebuah bentuk penyaluran hasrat akan seni. Dari pada hanya berdiam di malam dingin, warga desa menyibukkan diri dengan berlatih tari untuk kemudian menampilkannya pada pertunjukan pada acara-acara khusus seperti saat itu.
Sayapun jadi teringat, kepada penari-penari di tempat lain. Di ruang-ruang private yang hanya ditonton segelintir orang. Mereka yang menari tanpa perlu kostum, menggeliatkan tubuh dalam irama bernama birahi. Beraduk bercampur bersama asap, alkohol dan dingin ruangan yang dilengkapi AC. Mereka ini adalah penari, pekerjaan mereka menari meski entahlah mungkin ada pula yang setelah menari, dilanjutkan dengan hal-hal yang sudah sewajarnya terjadi bila nafsu, alkohol, uang, ketelanjangan, dan setan terangkai dalam shymfoni.
“Coba kalau kita bisa ikut ya Goop??” Ah temen saya mulai gebleg…
Penari tanpa kostum itu, menukar setiap peluh yang menetes dengan lembaran rupiah. Setiap inci kulit yang terbuka, terlihat dan boleh disentuh dihargai dengan duit. Tidak akan saya menyebut mereka perempuan murahan, karena sesungguhnya tarif mereka sangat mahal (setidaknya untuk kantong tipis saya). Ah ya, ternyata tidak hanya perempuan yang melakukan profesi ini, karena ada pula lelaki yang juga melakonkan peran yang sama di ruang-ruang mewah tersembunyi. Di seberang yang lain, lelaki dan perempuan berduit akan duduk dengan tidak tenang sambil melihat pesona yang tersaji. Bukan khawatir akan banyaknya rupiah yang keluar, bukan khawatir kantong yang menipis dengan drastis. Mereka menahan sesuatu yang sudah diubun-ubun, mendesak-desak dan menuntut pelampiasan. “Dasar bisnis lendir edan!!” dalam hati saya mengumpat.
Setan dalam dua pesta tersebut telah menunjukkan dirinya. Setan dalam pesta rakyat menunjukkan dirinya secara nyata pada mereka yang kesurupan, entah penari atau penonton. Menjadikan pertunjukan memanas karena penonton menahan nafas, melihat yang kesurupan makan kaca atau bertingkah seperti hewan. Setan dalam pesta di ruang private, lebih tersembunyi dibelakang halus kulit, siluet tipis dibelakang bayang, tetes peluh serta tak lupa lembaran uang. Pertunjukan juga tak kalah memanas, sayang tak ada penonton karena kini semua telah menjadi pemain, sayang juga karena saya tak mengerti apakah mereka bertingkah seperti hewan, atau benar-benar menjadi hewan.
Samakah kedua pesta, samakah peran setan, dan samakah tingkah mirip hewan? Bagaimana pendapat anda??
wah yang tanpa selembar benang itu yang saya mau…
tapi ketoke jadi teringat suatu kisah yang baru seru-serunya di kantor nih…
wadauh…
dijitak ma mas ….
ah moso ga ada skrinsyut ato pelemnya
kurang seru!!
wiw…walofun nda ada skrinsyut, tetef berasa ko suasananya…
ah ya, tafi ya kalo ndak ada gambar = HOAX! mhuahuahua
hmm… berat menjawabnya, paman goop…
LARIII…….!!!!!!!!!
*dikejar massa FPI
kalau aku malah milih ndak jadi setan mana-pun juga goop, udah bosen 😈
jadi inget jurus “Bidadari Menyebar Bunga” Ang I Niocu 😆
@Beratz
Nah loh, emang inih inspirasinya juga sebagian dari situ paman beratz 😀
@Caplang
Wuah…
maafken saya paman caplang, namun off the record aja paman mau link-nya?
@Hoek
Makasih paman hoek, ko mirip yak…
HOEK = HOAX
dan ini jelas bukan HOAX, liat aja comment paman beratz…
beliau teman kantor saya😀@morishige
wah, perlu ikutan lari juga nda’ yak?? 😀
@extremusmilitis
Weksss
“Bidadari menyebar bunga” huahaha…
yang rambutnya harum baunya itu yak 😀 coba kalo kita ketemu yah paman extrem…
Bisnis lendir….
*spechless* 🙄
@alex
ada apakah paman alex?? di aceh ada nda’??
ah maafken saya usil bertanya 😀
Gambaran yang sungguh kontras. Para penari kuda kepang hanya ditekuni oleh mereka yang memang memiliki dunia panggilan untuk menghidupi kesenian, bukan hidup dari kesenian. Di mata saya, mereka lebih bermartabat ketimbang *halah* mereka yang terperangkap dalam “bisnis lendir”? Wah istilah baru nih mas goop. Pintar2nya bikin istilah, lho. Hedonis tuh.
Di Kendal, banyak sekali grup kuda lumping. Yang luar biasa, umurnya rata2 masih muda. Nggak kepikiran larut dalam arus urban. Mereka rela nggak dibayar. Paling2 hanya antarjemput dan diopeni selama pentas. sungguh mengagumkan betul kecintaan mereka terhadap pertunjukan seni rakyat itu.
OK, salam.
@Sawal
Benar pak, saya salut sama mereka yang benar-benar berkesenian, melakukan sesuatu untuk sesamanya, dari rakyat dan untuk rakyat, terima kasih 😀
Bis-bisnis lendir…
*pasang tampang lugu*
@Rozenesia
Wah emang ada, bisnis lendir???
*ikut-ikutan lugu*
:::Makasih paman roze:::
… sulit untuk berkomentar, namun salut untuk sobat lama saya ini,,,(eh sekarang juga masih bersobat-jadi saya revisi SOBAT saja tanpa LAMA), ehm salut untuk perjuangan paman GooP, salut untuk pekerjaanya, pemaknaan paman GooP untuk keseharian di sekitar kita, semoga memberi hal baru untuk kita semua… HIDUP BLOGer
@pramudita
Deugh jadi kepengen malu 😀 terima kasih sobat untuk kunjungannya, karena keseharian menurut saya adalah yang paling dekat dengan kita, bgitulah
sangat menarik penggambarn di tulisan ini.. apalagi jika ada foto²nya … 🙂 salam kenal bu. saya tahu dari webnya pak Ersis
Bisnis lendir itu apa sih?
Kira2 prospeknya bagus gak?
*pura2 gak baca*
@kurt
terima kasih paman kurt, fotonya ada juga, mau?? 😀
____________________________________________________
OOT nih :
hiks saya bukan bu!! ko bisa ya??
Pak Ersis siapa ya??
makasih ya sudah mampir
@qzink666
wah, prospek bisnis lendir bagus paman,
pa lagi klo managemen tanpa peri kemanusiaannya dibudidayakan, pasti cepat berkembang
-ah saya sok tau 😀 –
:::makasih ya sudah mampir:::
gunung sumbing itu di mana goop?
@itikkecil
Tante itik, gunung sumbing itu di temanggung, jawa tengah.
Nyaman disana, gunung mati menurut para pakar, jadi nda’ mungkin meletus 😀 (meski katanya)
tante itik mau kesana??
—————–
Ehmm….
Ini dia contoh Lingkaran Setan…..
Wanita… nafsu… alkohol… uang… ketelanjangan….
Kalo dibalik » Ketelanjangan… uang… alkohol… nafsu… wanita…
Balik lagi » Uang… nafsu… alkohol… wanita… ketelanjangan…
Ehmm….
bener-bener lingkaran setan…..
————————————
*Makasih atas postingannya…..*
@blogkeimanan
Wah, iyah itu
ga usah dibolak-balik juga udah keliatan kan 😀
Terima Kasih sudah mampir, salam 😀