Puncak
Puncak Gunung Merapi selalu terdiam, Gunung Sumbing juga tidak berbeda. Keduanya terpisah, satu di Timur dan satu di Barat, di antara mereka masih bisa saling pandang, meski keduanya tidak pernah saling menyapa. Benar memang, terkadang Merapi batuk, atau tiap hari mengepulkan asap. Namun, hanya sebatas itu saja tegur sapa di antara keduanya.
Puncak gunung, adalah sebuah magnit perhatian. Tidak saja bagi seorang pendaki, yang rela menukar lelah, capek dan peluh dengan tiba di puncak. Puncak Merapi sebagai salah satu gunung paling aktif di dunia, juga menarik perhatian. Aktifitas kawah, kaldera, lahar dingin, wedhus gembel sampe magma segar yang baru saja keluar dari kepundan, begitu menarik sebagai bahan kajian.
Saat kita berada di puncak gunung, semua pemandangan yang ada di bawah sana bisa jelas terlihat. Jalan yang berkelok, sungai dengan air atau tanpa air. Permukiman penduduk di perdesaan juga perkotaan. Saat malam, kerlap-kerlip lampu menjadi pesaing gemintang. Muncul kesadaran betapa kecil kita bila dibandingkan dengan gunung itu. Betapa tidak berdayanya manusia, karena berjuta lampu tak sanggup untuk sekedar bersaing dengan sebuah mentari.
Puncak gunung saat pagi berbeda lagi, kesiur angin mendominasi, sinar mentari sampai lebih dahulu, memberikan terang. Adapun di bawah sana, kabut masih meraja, menjadi tirai yang menghalangi semua kenampakan. Di kejauhan, puncak gunung lain juga menjulang, seperti pulau di antara lautan. Gunung senantiasa indah, dalam diamnya; dalam asapnya; dalam kabutnya.
Benarkah puncak gunung selalu indah? Bagaimana dengan magma; bagaimana dengan kawah; bagaimana dengan batuan beku juga pepasir? Tidak boleh lupa, dengan ketiadaan air di puncak yang selalu gersang itu. Pepatah jawa mengatakan fenomena ini sebagai srigunung, indah dari kejauhan, namun menipu saat didekati.
Posisi puncak gunung yang berada di ketinggian, memungkinkannya untuk selalu bercumbu dengan awan. Pengangkut air, yang membawa berkah. Namun kenapa, puncak itu masih saja berhiaskan gersang; kering dan tandus? Puncak gunung tersusun dari material yang sangat mudah disusupi air, itulah barangkali yang menyebabkan semua hiasan tersebut terjadi.
Hujan yang menjadi air, tak pernah lama singgah di puncak gunung. Begitu jatuh, saat itu pula akan segera meresap. Di kejauhan, barulah muncul mata air, berkumpul menjadi sungai. Ditinggalkannya puncak dalam senandung diam; sepi; sendiri yang gersang.
Tak banyak makhluk yang bisa beradaptasi dalam dingin; tandus puncak. Edelweis, adalah yang bisa disebutkan mampu tumbuh di puncak. Puncak gunung menjadi sebuah habitat terbatas, puncak juga menjadi habitat yang sangat menuntut pengertian dari makhluk. Antara makhluk yang bisa tumbuh dengan puncak gunung, terjadi persahabatan yang sangat akrab. Selalu bercengkerama, berhiaskan kabut; sinar mentari pagi. Bersama mendengarkan kesiur angin; menulikan diri. Bersendau gurau, ditingkahi awan, juga kilatan petir.
Posisi puncak di ketinggian, juga menjadi penghalang awan, menghentikan pergerakannya, menghasilkan daerah bayangan hujan. Sebuah wilayah yang juga tandus; gersang, dan sulit air. Menjadi batasan bagi penduduk, mencengkeram dalam kemiskinan menahun. Pembenaran bagi kebodohan; keterbelakangan, dan mitos-mitos.
Paradoks puncak gunung ini, bisa juga ditemukan dalam kekuasaan. Posisi di atas yang disanjung; dihormati; dipuja; dilayani menjadi magnit perhatian. Beraneka ragam cara ditempuh guna meraih apa yang menjadi idam-idaman ini. Seperti pendaki, yang sabar melangkah di lembah-lembah, ulet menjelajahi punggung-punggung pegunungan demi mencapai puncak.
Pendaki menukar peluhnya; literan air mineral; dingin dan lelah dengan pemandangan di puncak gunung. Calon penguasa menukar materi; pengaruh; jilatan yang anyir berbau ludah; tak jarang mengobral janji, demi sebuah puncak bernama kekuasaan.
Saat pesona puncak pegunungan dinikmati pendaki, saat itu pula penguasa menikmati kekuasaannya. Dilihatnya kondisi di bawah sana, yang tidak semuanya indah. Ada macet, sebagian banjir, sebagian lumpur. Beberapa kumuh, banyak yang lain elite. Hey, di sana penggusuran adapun di sini pembangunan perumahan mewah.
Semuanya terlihat, baik si miskin juga si kaya. Baik adil atau berat sebelah. Maling juga ulama. Kemiskinan dan kemewahan. Terpampang semua, karena memang tiada kabut yang sanggup menjadi tabir.
Kemudian, kenapa masih saja buta? Apakah karena puncak bukanlah sebuah kuasa kehendak bertindak? Apakah karena puncak hanya menawarkan posisi tanpa reaksi? Mungkinkah karena di puncak, segalanya seperti pemandangan yang memang semestinya demikian? Tak perlu perubahan; menihilkan sentuhan; menuhankan pengabaian.
Padahal puncak, senantiasa bercumbu dengan gemawan. Padahal puncak, selalu disiram air berlimpahan. Persahabatan menuntut prasarat yang sesuai, yang pas, elite dan tidak sembarangan. Menjadi karib, akrab, mesra, sahabat yang berlanjut menjadi kroni. Menyisakan bayangan hujan, yang tenggelam dalam gersang kemiskinan, jurang keterbelakangan dan lembah kebodohan.
Salahkan angin yang berkesiuran menulikan? Oh, apakah perbuatan halilintar yang berkilat menyilaukan? Seperti gelimang harta, untaian permata, atau tanda jasa? Bukan; bukan wanita meski mungkin iya, ini semua tentang tahta.
Dan puncak, akhirnya sendiri; gersang dan tandus. Air tenang; tentram justru di kejauhan. Menuju samudera…
gambar dari belakang rumah dengan kamera sederhana
menjadi rindu masa masa itu
sebuah masa di lembah mandalawangi
aku akan kembali…
Goop:::
saya menjadi ingin mendengar ceritanya mas π
ditunggu lho…
mas goop, puncak gunung, dalam pemahaman awam saya, hanyalah sebuah mozaik semesta dari sekian mozaik yang tergelar di hamparan bumi yang indah. puncak kekuasaan hanya sebuah momentum yang pasti akan berakhir ketika saatnya tiba. ini sebuah gambaran yang penuh pelajaran berharga betapa ketika berada di puncak kekuasaan, perlu sesekali menengok ke bawah agar tak gampang silau oleh gebyar kekuasaan yang memabukkan. memang, puncak gunung akan selalu ada, tapi puncak kekuasaan bagaikan cakra manggilingan. untuk bisa menggapai puncak harus merangkak dari bawah agar tak gampang digoyang angin. *halah, nyambung ndak yah!*
Goop:::
wuah, keren pak, terima kasih untuk tambahan pesan ini π
ah, kenapa saya jadi sangat merindukan puncak arjuna gara gara membaca ini?
π₯
saat saat dimana segala penat dan peluh terganti dengan rasa puas yang tak pernah tergantikan sebelumnya…
aaah…
yang jelas, puncak selalu menjadi tujuan, dan ketika puncak telah teraih, tak ada pilihan lain selain turun kembali, atau meraih puncak lagi, yang lebih tinggi… tentu saja, dengan turun dulu…
*sok sokan filosofis*
Goop…
hihi, makasih wi…
ini keren, sungguh π
gunung….mmmmmmmm….
Goop:::
hayooooo…. apa?
spertinya pesan tersirat amat dalam neh
bentuk proteskah?
Goop:::
menurut jenderal bagaimana? π
koq jadi inget themesongnya AFI ya paman..”menuju puncak…”
eh paman punya Vila di Puncak ya? sepertinya kapan-kaman mesti berkunjung nih
Goop:::
lha… saya belum sekaya itu boz hihihi…
apa dikau malah yang punya? π
puncak, sesiapun ingin meraihnya .
Goop:::
yupe, setuju bro…
puncak….artikel yang menarik lagi tn.Goop
bukankah orgasme juga adalah puncak kenikmatan berhubungan dengan lawan jenis…namun apakah sebelumnya juga harus diselubungi dengan awan tuan goop…?.
Bukankah debu dan material gunung merapi juga membawa kesuburan bagi tanah tanah yang diliputinya…?. Memang nikmat mendaki gunung..apalagi jika dua gunung itu agak terpisah ….?
–salam tuan goop—
Goop:::
huahaha…
malah tentang kesuburan tuan Daeng, hihihi π
makasih ya…
ah…. puncak itu dingin om… tp akan menjadi panas jika dah mendekati musim 2009 π
jd inget acara di metro tentang kelud… π
Goop:::
haha, memang ada apa di 2009?
*mendadak amnesia* π
jadi pengen nanjak lagi π
Goop::
wah, nanjak apaan nih bro?
π
Puncak juga bisa berujung maut, jika mendaki terlalu jauh tanpa bekal yang cukup…
Goop:::
yupe, bener banget bro…
π¦
wah…kontemplasi yang berat
Goop:::
π
paman, apakah cinta itu seperti gunung ? tampak indah namun terjal dan berliku ? hanya yg terpilihlah yg bs merasakan puncaknya gunung cinta ? apakah semua yg kutulis itu ada benarnya paman ? ato hanya mimpi dan hayalanku yg tiada berarti ?
*merapi masih tertidur dengan sedikit dengkuran halus ketika aku menapakkan kaki dipuncaknya dan matahari masih enggan membuka selimut kegelapan malam*
Goop:::
hihi, saya pun kurang tau, tapi barangkali seperti itu sobat π
terima kasih
mungkin karna untuk mencapai puncak orang harus mendaki dulu kali mas,
jadi waktu mereka nyampai diatas puncak mereka berusaha untuk bener2 menikmatinya karna jalan menurun sudah di depan mata.
ada baiknya mungkin,
tapi kadang merasakan dan menikmati proses dapat membuat kita dapat menikmati dari masa pendakian puncak dan juga menurunnya.
huhuhuhu
auk degh nyambung pa nggak.
π
Goop:::
yupe, proses itu kang, tapi bukan sembarang proses yang asal nabrak kan? π
Aku juga kemarin baru pulang dari gunung
http://indra1082.wordpress.com/2008/03/10/antara-ciater-jakarta/
Goop:::
yang tidak ajak-ajak itu kan bro? π
makasih
bukankah semakin tinggi puncak seseorang berada akan semakin kencang angin bertiup?
saya suka berada di puncak gunung….
Goop:::
kalo tante di atas sana saya ikut dong
hehe…
ada yang bisa kita pelajari dari puncak gunung ini
“Hujan yang menjadi air, tak pernah lama singgah di puncak gunung. Begitu jatuh, saat itu pula akan segera meresap. Di kejauhan, barulah muncul mata air, berkumpul menjadi sungai”
Orang yang sudah di atas (pemerintah) sudah semestinya memperhatiken nasib rakyat kecil
Goop:::
semoga begitu bro…
makasih π
Hmmm pertautan kata dan makna yang indah dan nyaris sempurna. Puncak juga berarti temptation, klimaks, dan akhir dari segalanya. Terhempas dari puncak lebih nestapa dibanding ‘menghempaskan’ diri saat masih mendaki….(mengerti kapan harus berhenti)
Goop:::
yupe, sadar akan kemampuan diri π
terima kasih
paman.. kenapa gunung bentuknya kerucut ya?? π
Goop:::
eh, itu….
π
@brainstorm
kalau bentuknya bulat, gimana cara mendakinya? wakakakakakakkk….
Goop:::
gyahaha…
tuanku Daeng memang paling bisa
π
paman goop, itu gambar dari halaman belakang rumah paman? emang rumahnya dimana?
Goop:::
ya di deket situ π
saya suka alam, pada dasarnya..saya suka gunung tapi lebih memilih laut..
Goop:::
yupe, laut saya pun suka π
*nyanyi*
*ninja hatori mode on*
Mendaki gunung lewati lembah..sungai mengalir indah ke samudra bersama Paman bertualang. π
*ninja hatori mode off*
π
Goop:::
berakhir dengan capek ya Na hihihi
Puncak gunung, puncak kebahagiaan, puncak kemarahan, puncak kehidupan. Sama saja, selalu berada di atas.
Goop:::
cuma satu jawabnya, ya iyalahhhhhh