Angkringan Semarang
Di tengah Kota Semarang, udara begitu panas. Pori-pori melebar dan keringat tak henti membasahi baju. Tenggorokan kering bagai berjalan di gurun yang mengharapkan oasis. Fatamorgana di kejauhan menyilaukan mata, indah namun hampa.
Lampu merkuri yang begitu terang di pinggir jalan, membentuk bayangan dan bukan hanya satu. Seperti bayangan pemain bola, pada stadion beberapa waktu yang lalu. Bayangan itu bergerak, perlahan-lahan mengikuti kaki melangkah. Satu demi satu terbentuk, satu demi satu hilang. Sebuah bayangan baur, beranjak menjadi nyata. Tak berapa lama kemudian, sebuah yang lain terbentuk. Dimulai dari baur dan beranjak nyata. Bayangan yang pertama berangsur-angsur hilang, saat bayangan yang kedua kian jelas.
Pak Kardi, mengantuk di atas becaknya. Di depan Novotel, memandang muak sopir Taksi yang berbaju rapi. Cak Salim, mendorong gerobak sate maduranya malas saat staff delivery service KFC menyalip kencang. Paradoks kehidupan begitu banyak tersaji, tidak peduli, semua berlari.
Hausku memanggil, memohon penawar satu gelas es teh manis. Dihampiri gerobak angkringan, dengan makanan-makanan yang dibungkus kertas minyak berlabel. Nasi goreng, rica belut, mie goreng, kira-kira begitu label yang tertulis pada tiap bungkus. Memesan es teh manis, diikuti dengan mengambil dua potong pisang goreng, dan tenang menunggu di atas tikar plastik yang dihamparkan.
Saat rembang petang seperti ini, belum banyak pembeli. Pesanan cepat sekali, datang tersaji. Pak Paidi, si pemilik angkringan sendiri yang mengantar. Seperti kemarin, dia akan duduk sebentar menemaniku menyantap pisang goreng, dan es teh manis.
Bercerita tentang keluarganya, yang datang dari kampung tinggal di sebuah rumah petak di Semarang. Hari-harinya yang dilalui, berkawan panas Semarang yang menyengat. Peluh, bau badan dan got mampat di depan rumah adalah kawan karibnya.
Caranya bercerita yang ringan, seringkali tertawa hingga terbahak, menertawakan diri sendiri. Kadang lidahku kelu, bimbang bagaimana mestinya aku bersikap? Ingin menemaninya terbahak, tetapi yang keluar hanya diam, atau senyum miris. Bila sudah begitu, kutawarkan Djarum Super yang biasanya akan diterima dengan penuh semangat. Disulutnya, dihisap dengan penuh perasaan, dan dihembuskan pelan-pelan. Seiring dengan itu, berhembus pula cerita-cerita dari mulutnya yang hitam berjelaga, tertoreh sisa nikotin.
…
Wati berjalan penuh kekhawatiran. Tak biasanya ia pulang selarut ini, lembur akhir bulan telah memaksanya turun dari bus tengah malam. Di terminal Banyumanik yang sepi, Wati sendirian beberapa preman memandang curiga. Wati tak kuasa balas menatap, hanya menunduk yang ia bisa.
Angkutan kota yang biasanya mangkal, sudah tiada saat seperti ini. Taksi memang banyak berjejer, namun akan musnah uang lemburnya bila digunakan untuk ongkos Taksi. Pernah seorang sahabatnya bercerita, di daerah Sukun banyak berjejer plat hitam yang siap mengangkut penumpang.
Bergegas berjalan dengan khawatir dan lelah, dia menuju ke Sukun yang berjarak kurang dari satu kilometer. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Penerangan di Sukun ternyata tidak bersahabat, hal yang selama ini jarang ia perhatikan. Lebih parah, plat hitam yang konon mangkal di sana juga tiada.
Kembali bingung dan ragu menguasai hatinya, haruskah ia naik Taksi dan mengikhlaskan uang lemburnya? Atau coba menghubungi bapaknya yang pasti masih bekerja? Sial, dia lupa bapaknya tidak mengenal HP, sementara yang ada ditangannya, handphone lama yang habis pulsanya.
Rasa bingung dan khawatir, berhasil membuatnya tidak waspada. Tak disadarinya, saat tiga orang preman menyeretnya ke dalam sebuah rumah kosong. Selintas, dia teringat cerita di kampungnya yang juga gelap karena listrik belum merata. Bila gadis berjalan seorang diri dalam gelap, Banaspati si hantu kepala api akan menyeretnya, menjadikannya istri dengan cara membakarnya.
Tangan-tangan kuat itu bergantian bergerak di sekujur tubuh Wati, hal yang tidak pernah ada dalam bayangan itu terjadi padanya. Setelah puas mempermainkan wanita malang itu, kemudian ia ditinggalkan begitu saja tergeletak. Wati kembali teringat Banaspati, bukan dirinya dibakar, tapi dia telah terbakar api kebencian tiada terkira.
…
Di antara hembusan asap, Pak Paidi menutup cerita. Kasus ini, tak pernah terungkap. Polisi, hukum dan dia sendiri tak berdaya. Salah seorang pelaku, adalah putra pembesar daerah yang sedang kuliah di Semarang. Segepok uang, sebuah surat sakti bermaterai kekuasaan, telah menjamin binatang biadab itu masih bisa menghirup udara bebas.
Pandangan beliau redup, tak bergairah. Coba kuikuti arah pandangannya, dan di sana dekat dengan gerobak angkringan. Wati duduk, matanya nyalang menatap setiap pengunjung, fikirannya telah terganggu semenjak kejadian itu. Sekilas dia melihat ke arahku, saat kurasakan pandangan sedingin es menusuk.
Ada pembeli datang, Pak Paidi beranjak dari sisiku akan melayani pembeli. Saat itu, setelah mempersilahkan Pak Paidi, terdengar jeritan memekakkan telinga. Pembeli yang baru datang itu berkelojotan. Wati menatapnya dengan beringas, dan ditangannya tergenggam garpu berlumuran darah. Bungkusan nasi berlabel; aneka gorengan; kerupuk dan sate usus sudah tidak nikmat. Beberapa percik warna merah telah menodainya. Menjadi catatan tak terhapus, pada malam yang beranjak larut.
Semarang, 01 Mei 2008
akhirnya
legaaa setelah bisa posting lagi.
seperti menahan pipis saat toilet dipake 😳
maafkan saya sobat semua, saya berada di simpang jalan *hayah* 😆
HAloo salam kenal dari gambang semarang, kisahnya keren uey..
My last post: Mengintip Kegiatan Imlek 2010 di Semarang
ah paman nda ajak2 saya nich 😉
Ah Semarang…. How I miss Simpang Lima, Bergota *Loooo*
jalan-jalan mulu…
mana skrinsyutnya…
hiyaaaaaat!!!! *pasang kuda kuda*
Eh, kok cerita watinya serasa familiar ya?
*ubek ubek tulisan*
Ah iya, ada tulisan saya yang mirip begini goop. Tentang Jenar dan kekasihnya.
ah ya, lupa itu fiksi…
btw dua mbak manis ini pada baca ngga ya? 😦
dana
lah kau ni kenapa Bang? mau pencak?
mana link-nya jenar itu?
maap, saya malas searching, hihi 😳
Kapan bisa nongrong lagi di Semarang ya? Di Angkrinagan depan BNI Imam Barjo atau depan Kampus Sastra?
PANJANG BGT,…!!!!!
[…] Di tengah Kota Semarang, udara begitu panas. Pori-pori melebar dan keringat tak henti membasahi baju. Tenggorokan kering bagai berjalan di gurun yang mengharapkan oasis. Fatamorgana di kejauhan menyilaukan mata, indah namun hampa.
Lampu merkuri yang begitu terang di pinggir jalan, membentuk bayangan dan bukan hanya satu. Seperti bayangan pemain bola, pada stadion beberapa waktu yang lalu. Bayangan itu bergerak, perlahan-lahan mengikuti kaki melangkah. Satu demi satu terbentuk, satu demi satu hilang. Sebuah bayangan baur, beranjak menjadi nyata. Tak berapa lama kemudian, sebuah yang lain terbentuk. Dimulai dari baur dan beranjak nyata. Bayangan yang pertama berangsur-angsur hilang, saat bayangan yang kedua kian jelas.
Pak Kardi, mengantuk di atas becaknya. Di depan Novotel, memandang muak sopir Taksi yang berbaju rapi. Cak Salim, mendorong gerobak sate maduranya malas saat staff delivery service KFC menyalip kencang. Paradoks kehidupan begitu banyak tersaji, tidak peduli, semua berlari.
Hausku memanggil, memohon penawar satu gelas es teh manis. Dihampiri gerobak angkringan, dengan makanan-makanan yang dibungkus kertas minyak berlabel. Nasi goreng, rica belut, mie goreng, kira-kira begitu label yang tertulis pada tiap bungkus. Memesan es teh manis, diikuti dengan mengambil dua potong pisang goreng, dan tenang menunggu di atas tikar plastik yang dihamparkan.
Saat rembang petang seperti ini, belum banyak pembeli. Pesanan cepat sekali, datang tersaji. Pak Paidi, si pemilik angkringan sendiri yang mengantar. Seperti kemarin, dia akan duduk sebentar menemaniku menyantap pisang goreng, dan es teh manis.
Bercerita tentang keluarganya, yang datang dari kampung tinggal di sebuah rumah petak di Semarang. Hari-harinya yang dilalui, berkawan panas Semarang yang menyengat. Peluh, bau badan dan got mampat di depan rumah adalah kawan karibnya.
Caranya bercerita yang ringan, seringkali tertawa hingga terbahak, menertawakan diri sendiri. Kadang lidahku kelu, bimbang bagaimana mestinya aku bersikap? Ingin menemaninya terbahak, tetapi yang keluar hanya diam, atau senyum miris. Bila sudah begitu, kutawarkan Djarum Super yang biasanya akan diterima dengan penuh semangat. Disulutnya, dihisap dengan penuh perasaan, dan dihembuskan pelan-pelan. Seiring dengan itu, berhembus pula cerita-cerita dari mulutnya yang hitam berjelaga, tertoreh sisa nikotin.
…
Wati berjalan penuh kekhawatiran. Tak biasanya ia pulang selarut ini, lembur akhir bulan telah memaksanya turun dari bus tengah malam. Di terminal Banyumanik yang sepi, Wati sendirian beberapa preman memandang curiga. Wati tak kuasa balas menatap, hanya menunduk yang ia bisa.
Angkutan kota yang biasanya mangkal, sudah tiada saat seperti ini. Taksi memang banyak berjejer, namun akan musnah uang lemburnya bila digunakan untuk ongkos Taksi. Pernah seorang sahabatnya bercerita, di daerah Sukun banyak berjejer plat hitam yang siap mengangkut penumpang.
Bergegas berjalan dengan khawatir dan lelah, dia menuju ke Sukun yang berjarak kurang dari satu kilometer. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Penerangan di Sukun ternyata tidak bersahabat, hal yang selama ini jarang ia perhatikan. Lebih parah, plat hitam yang konon mangkal di sana juga tiada.
Kembali bingung dan ragu menguasai hatinya, haruskah ia naik Taksi dan mengikhlaskan uang lemburnya? Atau coba menghubungi bapaknya yang pasti masih bekerja? Sial, dia lupa bapaknya tidak mengenal HP, sementara yang ada ditangannya, handphone lama yang habis pulsanya.
Rasa bingung dan khawatir, berhasil membuatnya tidak waspada. Tak disadarinya, saat tiga orang preman menyeretnya ke dalam sebuah rumah kosong. Selintas, dia teringat cerita di kampungnya yang juga gelap karena listrik belum merata. Bila gadis berjalan seorang diri dalam gelap, Banaspati si hantu kepala api akan menyeretnya, menjadikannya istri dengan cara membakarnya.
Tangan-tangan kuat itu bergantian bergerak di sekujur tubuh Wati, hal yang tidak pernah ada dalam bayangan itu terjadi padanya. Setelah puas mempermainkan wanita malang itu, kemudian ia ditinggalkan begitu saja tergeletak. Wati kembali teringat Banaspati, bukan dirinya dibakar, tapi dia telah terbakar api kebencian tiada terkira.
…
Di antara hembusan asap, Pak Paidi menutup cerita. Kasus ini, tak pernah terungkap. Polisi, hukum dan dia sendiri tak berdaya. Salah seorang pelaku, adalah putra pembesar daerah yang sedang kuliah di Semarang. Segepok uang, sebuah surat sakti bermaterai kekuasaan, telah menjamin binatang biadab itu masih bisa menghirup udara bebas.
Pandangan beliau redup, tak bergairah. Coba kuikuti arah pandangannya, dan di sana dekat dengan gerobak angkringan. Wati duduk, matanya nyalang menatap setiap pengunjung, fikirannya telah terganggu semenjak kejadian itu. Sekilas dia melihat ke arahku, saat kurasakan pandangan sedingin es menusuk.
Ada pembeli datang, Pak Paidi beranjak dari sisiku akan melayani pembeli. Saat itu, setelah mempersilahkan Pak Paidi, terdengar jeritan memekakkan telinga. Pembeli yang baru datang itu berkelojotan. Wati menatapnya dengan beringas, dan ditangannya tergenggam garpu berlumuran darah. Bungkusan nasi berlabel; aneka gorengan; kerupuk dan sate usus sudah tidak nikmat. Beberapa percik warna merah telah menodainya. Menjadi catatan tak terhapus, pada malam yang beranjak larut.
Semarang, 01 Mei 2008
[….]
NUNGGU SKRINSUT..!!!!!!
Kisah Jenarnya masih jadi koleksi pribadi goop. Belon diposting, jadi percuma juga kamu nyari. 😛
pojokhayamwuruksingosari
btw, yang kau sebutkan itu di mana sih mas? 😆
maklum saya kan pendatang 😛
pepeng
jah… malah copypaste 😦
ayo dab, ning ngarep novotel keren! akeh temon 😛
dana
yeee… gitu diceritain 😦
kapan mau diposting? saya tunggu
belom pindahan toh?
Mbaca dari atas sampe bawah, lhaaaa..Episode Mbah Djingkrak’e endi????huhuhuhu…
edy
wuah ngejek 😦
stey
ehehe…
itu dia mbak, bingung gimana ceritanya yak
😳
Wati…..wati..kan udah saya bilang jangan deket-deket sama goop !
dasar pemerkosa biadab, laknat! membusuklah kau di neraka! 👿
ah, ya. selamat datang kembali di karya fiksi. seger rasanya Master kembali bikin yang ginian..
Eh, terminal banyumanik deket rumah eyang gw. coba dia ketok pintu rumah eyang gw, kan bisa pinjem telpon.. 😆
wah om goop bikin fiksi… kereeennnn…
sedang ada di persimpangan apa to om??
simpang 5 ya??
tak pikir kisah nyata paman…
btw angkringan di semarang itu di sekitaran simpang lima itu yo man?
daenglimpo
iya tuanku, dia ni bandel, saya bilangin jangan deket-deket tuanku juga ngeyel 😛
lghoh?!
tukangkopi
*hayah*
ajarin bikin puisi dong bro? 😳
kalaupun pinjam telpon, mo nelpon siapa? weee ketahuan fastrid 😛
ulan
hayah, masih kerenan wori mbak 😀
yah pokoknya di persimpangan aja
kabarihari
bukan mas, ini di depan novotel…
kalau di simpang lima, teh poci
bener ngga ya?
wew… tragis bener nasib si wati. sebuah bukti betapa uang dan kekuasaan masih sulit ditaklukkan oleh kejujuran, kebenaran, dan hati nurani. jadi geram juga sama si anak pejabat yang tega menyakiti wati. tapi, endignya kok jadi tragis amat, mas goop. tumben, ada darahnya segala, kekekeke 😆 nah, sebenarnya siapa sih calon pembeli yang bernasib malang itu? apakah dia si anak pejabat yang pernah menyakitinya? ndak mungkin! si anak pejabat ndak mungkin mau duduk di angkringan. jangan2 memang wati sedang depresi berat sehingga selalu memusuhi pemuda, siapa pun dia. walah ….
Novotel itu di mana ya?
* sudah 10 th diriku tidak ke Semarang 😀 *
Aku suka yang ini paman … keren. Btw, cerita Watinya bikin merinding. Saya setiap malam pulang kerja sendirian. Lewat depan banyak kaki lima, angkringan. Jadi takuttt ….. Hiyy
sawali
sepertinya saya harus jujur ini Pak 😛
saya mencoba membicarakan darah, belajar dari Pak Sawali, duwoh, tidak nyaman ternyata ya Pak 😦
Pemuda yang ditusuk itu, bisa siapa saja kan Pak, kenapa tidak mungkin putra pejabat itu? orang memperkosa saja dia mungkin kok
kabarihari
ough, itu deket balaikota mas
di jalan pemuda, ah gimana ya….
sekitar tugu muda gitu lah 😛
mezzalena
ya makanya biar hati-hati 😀
makasih untuk apresiasinya…
woits.. yang kelojotan itu sampeyan toh pakde.. 😛
nazieb
wooo…
ngawurr 😦
saya kan menikmati es teh *ceritanya begitu* 😛
duh, jadi pengen makan di angkringan jg nih..
kpn ajak2 mas??!
kyk-a asik tuh.. udah bosen ama makanan ‘itu2’ aja.. 😦
*halah*
lho, si bapaknya kan cuma gak kenal HP toh? bukan gak kenal telpon rumah? ketauan yang bikin cerita ndak beres ni.wee… 😛
tak pikir ya beneran loh…asyem
goop
ayoo dt, kalau mau ikut 😀
seru kok…
tukangkopi
jah… bapaknya lagi jaga angkringan bro, mana ada telpon rumah
didut
kekeke, maap mas…
mung reko-reko ~>> iki opo? :O
Goop mo kawiiiinn.. dan buat seseorang yang begitu mengharapkannya, siyap-siyaplah kecewa..
*ajak om Edy nyebarin gosip*
ah senang kau kembali kawan 😀
bagaimana bulan madu nan permai itu?
wohohoho ada yg mo kawin toh?
dengan orang semarang?
eh kau datang juga bro…
saya punya kunci inggris gedhe, mau?
*elus-elus pecut*
sudahlah, tidaklah bijak menyampah di rumah sendiri*nyapu-nyapu*
di deket simpang lima di jalan pemudanya… didepan bank BI itu ada boulevard lumayan enak buat nongkrong….
dulu aku sama anak-anak nightmare pada nongkrong disitu tiap malem minggu sampe lewat tengah malam…
ahh indahnya masa lalu….
angkringan jogja juga dong
@om Edy
betul, orang Semarang, bro.. Dia pernah repot-repot jam 5 sore dari semarang kirimin sambel ke khfff..
*dibekap*
eh, sekarang saya jualan tambang, racun tikus, dan perlengkapan alat bunuh diri.. ada yang berminat?? 😛
*kabur sebelum ditimpuk yang punya blog*
woooo…. habis ini ada bude goop toh.. 😆
plainlove
ayoo nongkrong lagi 😀
di mana sih itu?
unai
hah?! angkringan jogja kenapa mbak
qzink
…
zieb
…
bukan bude goop…
tapi auntygoop.wordpress.com
*logoff*
ehehe…
gebleg 😆
ayo pulang!!!!
Nb. auntygoop.com nya koq belom bisa diakses??
piye..
Waaaaa….Ada yg mo kawiiinnn!!! gyahahaha.. Gw tunggu undangannya! gw bela2in dtg dah.Sungguh!
Wadoh..berkurang lg nih jomblo..
blogimuter
iyoh itu, masih dibenahi pagar-pagarnya 😀
jualankopi
hayah, kayak ngga tahu lagunya mereka ini bro
di bagian awal, si aku-pencerita dikisahkan datang ke angkringan berada di siang bolong (karena di situ dikisahkan ada “fatarmorgana” yg pastinya hanya ada di siang), tp di bagian akhir kok adegannya terjadi “pada malam yang beranjak larut”? ataukah si aku-pencerita nongkrongnya dari siang sampe larut malam? kan waktu percakapannya juga cm mengisahkan adegan si wati diperkosa yg mungkin gak sampe sejam mungkin. hehehehehe….
*ngurusin detil itu memang gak mudah, ya? aku aja masih sering bolong2 dan kecolongan*
imajinasi wuueeeeeeedan…
setelah nunggu lama, akhirnya postingan paman muncul juga 🙂
He-eh…
Lama amat hiatusnya nih Oom Goop 😛
@nurdin
bener bro, paragraf ini seperti menggambarkan suasana siang hari yang panas, tapi kalo diterusin ke paragraf selanjutnya:
nah yang ini baru menjelaskan waktu percakapan di angkringan pada malam hari. tapi mungkin di paragraf pertama Goop cuma mau menekankan pada rasa haus yang amat sangat. bukan pada “fatamorgana” yang terbentuk di siang hari..
ngurusin detil emang butuh kesabaran, makanya gw kalo nulis juga suka lama nggak beres-beres gara2 persoalan detil ini.. 😀
nurdin
hihi, iya mas…
di awal itu rasa kehausan yang sangat yang ingin saya gambarkan.
ah, begitu saja penjelasannya. Versi lengkapnya, ada di penjelasan Tukang Kopi di atas ini 😛
btw, kok ganti nama ada apa ini?brainstorm
kekeke…
biasa aja ah mas
masmoemet
ho oh mas, gara-gara moemet tuh saya hehe
alex
wakaka, saya mah cuma bentar bro,
kau itu nah yang lama banget 😀
tukangkopi
huahaha
tengkyu bro, atas penjelasan lengkapnya itu
saya aja mungkin ngga selengkap itu😛Ah…. cuma dua bulan-an saja kok 😛
*jadi OOT nih*
lah, dua bulan itu kan lama?
*ikut-ikutan OOT*
makasih yak bro 😀
lama tak berkunjung kemari… jadi malu saya…
tambah keren ceritanya mas! salut berlipat-lipat buat mas goop…
gempur
hayah…
terima kasih banyak pak gempur 😀
sehat pak? *sok care*
Ass.
ceritanya bagus nian mas Goop….cerita ttg Kehidupan…
fiksi ato nonfiksi mas Goop ?
mas nggak minat bikin novel ?
harusnya pemerkosa wati disantet aja biar ngerasain perut gendut isi wajan
aarrgh!
Nunggu peluncuran kumcer seperti yang akan dilakukan Pak Sawali Jumat depan. Tentu Kumcer by Uncle Goop.
waaaaahhhh… seruuuuu…!!!
kapan diterbitkan nih cerpennyaaah???
endingnya mantabh!
alexabdillah
wass, ini fiksi mas 😛
eh, bikin novel? doakeun saja ya mas
afin
perut gendut isi wajan apa sih maksudnya? 😆
arif
wuah, apa bisa dibandingkeun pak?
hihi saya mah masih belajar 😛
thelobiezz
hahaha, diterbitkan bagaimana?
makasih
mana kumcernya
*ngarep royalti*
===
lagi pengen blogwalking
jiki
iya deh, yang lagi seneng
*ngarep makan2*
Sebentar lagi bisa diterbitkan pak, kumpulan cerpennya…..terus menulis pak…bacanya sambil deg-deg an.
jadi, mbah jingkrak itu sebenernya apanya yang jejingkrakan?
*pasrid*
endratna
ah ini saja masih belajar kok bu 😛
mohon doa restu, semoga bisa terlaksana, amien
mrs49
eh, mendingan ke sana saja, ntar juga tahu kok 😀
jadi kapan bakal ngenalin Bibi Goop kepada kami?
*nunggu dlm gelisah*
*toss*
saya juga gelisah 😦
kapan di terbitkan jadi novel jeng?
Daripada gelisah, mending nikah aja mas. Ndak baik setiap hari gelisah. Bagaimana? Bisa diterima tidak?
wah, sesungguhnya, aku mulai ragu bahwa pemilik rumah ini tak sekedar penulis. tapi……..
detnot
hayah, ini kan sudah diterbitkan jeung
ardians
wah, bisa sekali diterima, saya juga kepengen temen panjenengan itu mas 😛
doakan saja yak
panda
tapi apa Bang? 😛
penikmat angkringan juga sih
aku juga pengen berhenti ngeblog. bagi2 tipsnya ya…
kw
lah, kok berhenti kenapa mas?
saya ngga pengen berhenti kok 😛
wooh.. fiksi tho..
tak pikir…
Saya jadi kangen simpang lima… 😦
wiwikwae
iya mbak, fiksi 😛
azaxs
emang ada apa di simpang lima?
hayooooo 😆
Kapan angkringan tugu dibahas Mas Brader?
Tangan-tangan kuat itu bergantian bergerak di sekujur tubuh Wati, hal yang tidak pernah ada dalam bayangan itu terjadi padanya
Ko screen shootnya ga dipasang?
cerita sadis, saya gak pernah terfikir bikin scene gore mcam gini 😀
petak
haha, iya ya mana skkrinsutnya nih?
warmorning
hehe, hanya mencoba saja bro 😀
Halo maz GOOP…. 🙂
Aku kesasar lagi…
seneng juga…
nek kesasare ke sini lagi…
he he he….
wah,asiknya bisa nge-blog… saya ini setelah pindah kerja gak bisa ngeblog atawa nge-yahoo-an….. (alah bahasanya kacrut) apa kabar bung? lama tak bersua, terakhir ke jogja cuma bisa contact by phone… hahaha…. salam….